Sejarah Telekomunikasi Seluler di Indonesia
Telekomunikasi seluler
di Indonesia adalah sebuah substansi yang mencakup keseluruhan hal yang
berhubungan perkembangan telekomunikasi seluler yang terjadi di
Indonesia. Telekomunikasi seluler mulai dikenal sejak tahun 1984,
menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang paling awal
mengadopsi teknologi seluler versi komersial. Teknologi seluler yang
digunakan saat itu adalah NMT (Nordic Mobile Telephone) dari Eropa,
disusul oleh AMPS (Advance Mobile Phone Sistem), keduanya dengan sistem
analog. Teknologi seluler yang masih bersistem analog itu seringkali
disebut sebagai teknologi seluler generasi pertama (1G). Pada tahun 1995
diluncurkan teknologi generasi pertama CDMA (Code Division Multiple
Access) yang disebut ETDMA (Extended Time Division Multiple Access)
melalui operator Ratelindo yang hanya tersedia di beberapa wilayah
Jakarta, Jawa Barat, dan Banten.
Di dekade yang sama, diperkenalkan teknologi GSM (Global System for
Mobile) yang membawa teknologi telekomunikasi seluler di Indonesia ke
era generasi kedua (2G). Pada masa ini, layanan pesan singkat ( short
message service/SMS) menjadi fenomena di kalangan pengguna ponsel berkat
sifatnya yang hemat dan praktis. Teknologi GPRS (General Packet Radio
Service) juga mulai diperkenalkan, dengan kemampuannya melakukan
transaksi paket data. Teknologi ini kerap disebut dengan generasi dua
setengah (2,5G), kemudian disempurnakan oleh EDGE (Enhanced Data Rates
for GSM Environment), yang biasa disebut dengan generasi dua koma tujuh
lima (2,75G). Telkomsel sempat mencoba mempelopori layanan ini, namun
kurang berhasil memikat banyak pelanggan. Pada tahun 2001, sebenarnya di
Indonesia telah dikenal teknologi CDMA generasi kedua (2G), namun bukan
di wilayah Jakarta, melainkan di wilayah lain, seperti Bali dan
Surabaya.
Pada 2004 mulai muncul operator 3G pertama, PT Cyber Access
Communication (CAC), yang memperoleh lisensi pada 2003. Saat ini,
teknologi layanan telekomunikasi seluler di Indonesia telah mencapai
generasi ketiga-setengah (3,5G), ditandai dengan berkembangnya teknologi
HSDPA (High Speed Downlink Packet Access) yang mampu memungkinkan
transfer data secepat 3,6 Mbps.Dan yang paling santer terdengar,
sekarang sudah ada Generasi ke 4, atau 4G
1984: Teknologi seluler diperkenalkan di Indonesia
Teknologi komunikasi seluler mulai diperkenakan pertama kali di
Indonesia. Pada saat itu, Ketika itu, PT Telkom bersama dengan PT.
Rajasa Hazanah Perkasa mulai menyelenggarakan layanan komunikasi seluler
dengan mengusung teknologi NMT -450 (yang menggunakan frekuensi 450
MHz) melalui pola bagi hasil. Telkom mendapat 30% sedangkan Rajasa 70%.
1985-1992: Penggunaan teknologi seluler berbasis analog generasi 1 (1G)
Pada tahun 1985, teknologi AMPS (Advance Mobile Phone Sistem,
mempergunakan frekuensi 800 MHz[6], merupakan cikal bakal CDMA saat ini)
dengan sistem analog mulai diperkenalkan, di samping teknologi NMT-470,
modifikasi NMT-450 (berjalan pada frekuensi 470 MHz, khusus untuk
Indonesia) dioperasikan PT. Rajasa Hazanah Perkasa. Teknologi AMPS
ditangani oleh empat operator: PT. Elektrindo Nusantara, PT. Centralindo
Panca Sakti, dan PT Telekomindo Prima Bakti, serta PT. Telkom sendiri.
Regulasi yang berlaku saat itu mengharuskan para penyelenggara layanan
telephony dasar bermitra dengan PT. Telkom.
Pada saat itu, telepon seluler yang beredar di Indonesia masih belum
bisa dimasukkan ke dalam saku karena ukurannya yang besar dan berat,
rata-rata 430 gram atau hampir setengah kilogram. Harganya pun masih
mahal, sekitar Rp10 jutaan.
Pada tahun 1967, PT. Indonesian Satellite Corporation Tbk. (Indosat,
sekarang PT. Indosat Tbk.) didirikan sebagai Perusahaan Modal Asing, dan
baru memulai usahanya pada 1969 dalam bidang layanan telekomunikasi
antarnegara. Pada 1980, Indosat resmi menjadi Badan Usaha Milik Negara.
[sunting] 1993: Awal pengembangan GSM
Pada Oktober 1993, PT. Telkom memulai pilot-project pengembangan
teknologi generasi kedua (2G), GSM], di Indonesia. Sebelumnya, Indonesia
dihadapkan pada dua pilihan: melanjutkan penggunaan teknologi AMPS atau
beralih ke GSM yang menggunakan frekuensi 900 MHz. Akhirnya, Menristek
saat itu, BJ Habibie, memutuskan untuk menggunakan teknologi GSM pada
sistem telekomunikasi digital Indonesia.
Pada waktu itu dibangun 3 BTS (base transceiver station), yaitu satu di
Batam dan dua di Bintan. Persis pada 31 Desember 1993, pilot-project
tersebut sudah on-air. Daerah Batam dipilih sebagai lokasi dengan
beberapa alasan: Batam adalah daerah yang banyak diminati oleh berbagai
kalangan, termasuk warga Singapura. Jarak yang cukup dekat membuat
sinyal seluler dari negara itu bisa ditangkap pula di Batam. Alhasil,
warga Singapura yang berada di Batam bisa berkomunikasi dengan murah
meriah, lintas negara tapi seperti menggunakan telepon lokal. Jadi
pilot-project ini juga dimaksudkan untuk menutup sinyal dari Singapura
sekaligus memberikan layanan komunikasi pada masyarakat Batam.
1994: Kemunculan operator GSM pertama
PT. Satelit Palapa Indonesia (Satelindo) muncul sebagai operator GSM
pertama di Indonesia, melalui Keputusan Menteri Pariwisata No.
PM108/2/MPPT-93, dengan awal pemilik saham adalah PT. Telkom, PT.
Indosat, dan PT. Bimagraha Telekomindo[10], dengan wilayah cakupan
layanan meliputi Jakarta dan sekitarnya. Pada periode ini, teknologi NMT
dan AMPS mulai ditinggalkan, ditandai dengan tren melonjaknya jumlah
pelanggan GSM di Indonesia. Beberapa faktor penyebab lonjakan tersebut
antara lain, karena GSM menggunakan SIM card yang memungkinkan pelanggan
untuk berganti handset tanpa mengganti nomor. Selain itu, ukuran
handset juga sudah lebih baik, tak lagi sebesar ‘pemukul kasti’.
1995: Kemunculan telepon rumah nirkabel
Penggunaan teknologi GMH 2000/E-TDMA diperkenalkan oleh Bakrie Telecom
melalui Ratelindo. Layanan yang diberikan oleh Ratelindo berupa layanan
Fixed-Cellular Network Operator, yaitu telepon rumah nirkabel. Pada
tahun yang sama, kesuksesan pilot-project di Batam dan Bintan membuat
pemerintah memperluas daerah layanan GSM ke provinsi-provinsi lain di
Sumatera. Untuk memfasilitasi hal itu, pada 26 Mei 1995 didirikan sebuah
perusahaan telekomunikasi bernama Telkomsel, sebagai operator GSM
nasional kedua di Indonesia, dengan kepemilikan bersama Satelindo.
1996: Awal perkembangan layanan GSM
Akhir 1996, PT. Excelcomindo Pratama (Excelcom) yang berbasis GSM muncul
sebagai operator seluler nasional ketiga. Telkomsel yang sebelumnya
telah sukses merambah Medan, Surabaya, Bandung, dan Denpasar dengan
produk Kartu Halo, mulai melakukan ekspansi ke Jakarta. Pemerintah juga
mulai turut mendukung bisnis seluler dengan dihapuskannya bea masuk
telepon seluler. Alhasil, harga telepon seluler dapat ditekan hingga Rp1
juta. Pada 29 Desember 1996, Maluku tercatat menjadi provinsi ke-27
yang dilayani Telkomsel.
Pada tahun yang sama, Satelindo meluncurkan satelit Palapa CII, dan langsung beroperasi pada tahun itu juga.
1997-1999: Telekomunikasi seluler pada masa krisis moneter
Pada tahun 1997, Pemerintah bersiap memberikan 10 lisensi regional untuk
10 operator baru yang berbasis GSM 1800 atau PHS (Personal Handy-phone
System. Keduanya adalah sama seperti GSM biasa, namun menggunakan
frekuensi 1800 MHz). Namun, krisis ekonomi 1998 membuat rencana itu
batal.
Pada tahun yang sama, Telkomsel memperkenalkan produk prabayar pertama
yang diberi nama Simpati, sebagai alternatif Kartu Halo. Lalu Excelcom
meluncurkan Pro-XL sebagai jawaban atas tantangan dari para
kompetitornya, dengan layanan unggulan roaming pada tahun 1998. Pada
tahun tersebut, Satelindo tak mau ketinggalan dengan meluncurkan produk
Mentari, dengan keunggulan perhitungan tarif per detik.
Walaupun pada periode 1997-1999 ini Indonesia masih mengalami guncangan
hebat akibat krisis ekonomi dan krisis moneter, minat masyarakat tidak
berubah untuk menikmati layanan seluler. Produk Mentari yang diluncurkan
Satelindo pun mampu dengan cepat meraih 10.000 pelanggan. Padahal,
harga kartu perdana saat itu termasuk tinggi, mencapai di atas Rp100
ribu dan terus naik pada tahun berikutnya[11]. Hingga akhir 1999, jumlah
pelanggan seluler di Indonesia telah mencapai 2,5 juta pelanggan, yang
sebagian besar merupakan pelanggan layanan prabayar.
2000-2002: Deregulasi dan kemunculan operator CDMA
Telkomsel dan Indosat memperoleh lisensi sebagai operator GSM 1800
nasional sesuai amanat Undang-undang Telekomunikasi No. 36/1999. Layanan
seluler kedua BUMN itu direncanakan akan beroperasi secara bersamaan
pada 1 Agustus 2001. Pada tahun yang sama, layanan pesan singkat
(Inggris: Short Message Service, SMS) mulai diperkenalkan, dan langsung
menjadi primadona layanan seluler saat itu.
Pada tahun 2001, Indosat mendirikan PT. Indosat Multi Media Mobile
(IM3), yang kemudian menjadi pelopor layanan GPRS (General Packet Radio
Service) dan MMS (Multimedia Messaging Service) di Indonesia. Pada 8
Oktober 2002, Telkomsel menjadi operator kedua yang menyajikan layanan
tersebut[12].
Masih di tahun 2001, pemerintah mengeluarkan kebijakan deregulasi di
sektor telekomunikasi dengan membuka kompetisi pasar bebas. PT. Telkom
pun tak lagi memonopoli telekomunikasi, ditandai dengan dilepasnya saham
Satelindo pada Indosat. Pada akhir 2002, Pemerintah Indonesia juga
melepas 41,94% saham Indosat ke Singapore Technologies Telemedia Pte.
Ltd.. Kebijakan ini menimbulkan kontroversi, yang pada akhirnya membuat
Pemerintah terus berupaya melakukan aksi beli-kembali.
Pada Desember 2002, TelkomFlexi hadir sebagai operator CDMA pertama di
Indonesia, di bawah pengawasan PT. Telekomunikasi Indonesia, menggunakan
frekuensi 1.900 MHz dengan lisensi FWA (Fixed Wireless Access).
Artinya, sistem penomoran untuk tiap pelanggan menggunakan kode area
menurut kota asalnya, seperti yang dipergunakan oleh telepon berbasis
sambungan tetap dengan kabel milik Telkom.
2003-2004: Kemunculan operator 3G pertama
Satelindo meluncurkan layanan GPRS dan MMS pada awal 2003, dan menjadi
operator seluler Indonesia ketiga yang meluncurkan layanan tersebut.
Melalui Keputusan Dirjen Postel No. 253/Dirjen/2003 tanggal 8 Oktober
2003, pemerintah akhirnya memberikan lisensi kepada PT. Cyber Access
Communication sebagai operator seluler 3G pertama di Indonesia melalui
proses tender[15], menyisihkan 11 peserta lainnya. CAC memperoleh
lisensi pada jaringan UMTS (Universal Mobile Telecommunications System)
atau juga disebut dengan W-CDMA (Wideband-Code Division Multiple Access)
pada frekuensi 1.900 MHz sebesar 15 MHz.
Pada November 2003, Indosat mengakuisisi Satelindo, IM3, dan Bimagraha.
Pada akhirnya, ketiganya dilebur ke dalam PT. Indosat Tbk. Maka sejak
saat itu, ketiganya hanya menjadi anak perusahaan Indosat.
Di bulan yang sama, PT. Bakrie Telecom meluncurkan produk esia sebagai
operator CDMA kedua berbasis FWA, yang kemudian diikuti dengan kehadiran
Fren sebagai merek dagang PT. Mobile-8 Telecom pada Desember 2003,
namun dengan lisensi CDMA berjelajah nasional, seperti umumnya operator
seluler berbasis GSM. PT. Indosat menyusul kemudian dengan StarOne pada
Mei 2004, juga dengan lisensi CDMA FWA.
Pada Februari 2004, Tekomsel meluncurkan layanan EDGE (Enhanced Data
Rates for GSM Evolution), dan menjadikannya sebagai operator EDGE
pertama di Indonesia. EDGE sanggup melakukan transmisi data dengan
kecepatan sekitar 126 kbps (kilobit per detik) dan menjadi teknologi
dengan transmisi data paling cepat yang beroperasi di Indonesia saat
itu. Bahkan menurut GSM World Association, EDGE dapat menembus kecepatan
hingga 473,8 kilobit/detik.
Sejak April 2004, para operator seluler di Indonesia akhirnya sepakat
melayani layanan MMS antar-operator. Pada akhir 2004, jumlah pelanggan
seluler sudah menembus kurang lebih 30 juta. Melihat perkembangan yang
begitu pesat, diprediksi pada tahun 2005 jumlah pelanggan seluler di
Indonesia akan mencapai 40 juta.
Pada Mei 2004, PT. Mandara Seluler Indonesia meluncurkan produk seluler
Neon di Lampung pada jaringan CDMA 450 MHz. Namun Neon tak bisa
berkembang akibat kalah bersaing dengan operator telekomunikasi lainnya,
sampai akhirnya diambil alih oleh Sampoerna Telecom pada 2005, dan
menjadi cikal bakal Ceria.
Pada tanggal 17 September 2004, PT. Natrindo Telepon Seluler (Lippo
Telecom) memperoleh lisensi layanan 3G kedua di Indonesia. Perusahaan
ini memperoleh alokasi frekuensi sebesar 10 MHz.
2005-2008: Era reformasi
Pada Mei 2005, Telkomsel berhasil melakukan ujicoba jaringan 3G di
Jakarta dengan menggunakan teknologi Motorola dan Siemens, sedangkan CAC
baru melaksanakan ujicoba jaringan 3G pada bulan berikutnya. CAC
melakukan ujicoba layanan video telephony, akses internet kecepatan
tinggi, dan nonton siaran Metro TV via ponsel Sony Ericssson Z800i.
Setelah melalui proses tender, akhirnya tiga operator telepon seluler
ditetapkan sebagai pemenang untuk memperoleh lisensi layanan 3G, yakni
PT. Telkomsel, PT. Excelcomindo Pratama (XL), dan PT. Indosat pada
tanggal 8 Februari 2006. Dan pada akhir tahun yang sama, ketiganya
meluncurkan layanan 3G secara komersial.
Pada Agustus 2006, Indosat meluncurkan StarOne dengan jaringan CDMA2000
1x EV-DO di Balikpapan. Pada saat yang sama, Bakrie Telecom
memperkenalkan layanan ini pada penyelenggarakan kuliah jarak jauh
antara Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan California Institute for
Telecommunication and Information (Calit2) di Universitas San Diego
(UCSD) California.
Pemerintah melalui Depkominfo mengeluarkan Permenkominfo No. 01/2006
tanggal 13 Januari 2007 tentang Penataan Pita Frekuensi Radio 2.1 GHz
Untuk Penyelenggaraan Jaringan Bergerak Seluler IMT-2000, menyebutkan
bahwa penyelenggaraan jaringan tetap lokal dengan mobilitas terbatas
hanya dapat beroperasi di pita frekuensi radio 1.900 MHz sampai dengan
31 Desember 2007. Jaringan pada frekuensi tersebut kelak hanya
diperuntukan untuk jaringan 3G. Operator dilarang membangun dan
mengembangkan jaringan pada pita frekuensi radio tersebut.
Maka, berdasarkan keputusan tersebut, para operator seluler CDMA
berbasis FWA yang menghuni frekuensi 1.900 MHz harus segera bermigrasi
ke frekuensi 800 MHz. Saat itu ada dua operator yang menghuni frekuensi
CDMA 1.900 MHz, yaitu TelkomFlexi dan StarOne. Akhirnya, Telkom
bekerjasama dengan Mobile-8 dalam menyelenggarakan layanan Fren dan
Flexi, sedangkan Indosat bekerja sama dengan Esia milik Bakrie Telecom.
Jumlah pengguna layanan seluler di Indonesia mulai mengalami ledakan.
Jumlah pelanggan layanan seluler dari tiga operator terbesar (Telkomsel,
Indosat, dan Excelcom) saja sudah menembus 38 juta. Itu belum termasuk
operator-operator CDMA. Hal ini disebabkan oleh murahnya tarif layanan
seluler jika dibandingkan pada masa sebelumnya yang masih cukup mahal.
Namun jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang sekitar
220 juta pada saat itu, angka 38 juta masih cukup kecil. Para operator
masih melihat peluang bisnis yang besar dari industri telekomunikasi
seluler itu. Maka, untuk meraih banyak pelanggan baru, sekaligus
mempertahankan pelanggan lama, para operator memberlakukan perang tarif
yang membuat tarif layanan seluler di Indonesia semakin murah.
Namun di balik gembar-gembor tarif murah itu, BRTI (Badan Regulasi
Telekomunikasi Indonesia) dan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha)
menemukan fakta menarik: ternyata para operator seluler telah melakukan
kartel tarif layanan seluler, dengan memberlakukan tarif minimal yang
boleh diberlakukan di antara para operator yang tergabung dalam kartel
tersebut. Salah satu fakta lain yang ditemukan BRTI dan KPPU adalah
adanya kepemilikan silang Temasek Holdings, sebuah perusahaan milik
Pemerintah Singapura, di PT. Indosat Tbk. dan PT. Telkomsel, yang
membuat tarif layanan seluler cukup tinggi.
Maka, pemerintah melalui Depkominfo akhirnya mengeluarkan kebijakan yang
mengharuskan para operator seluler menurunkan tarif mereka 5%-40% sejak
April 2008, termasuk di antaranya penurunan tarif interkoneksi antar
operator. Penurunan tarif ini akan dievaluasi oleh pemerintah selama 3
bulan sekali.
Periode 2009
Di Indonesia pada tahun 2009, telah beroperasi sejumlah 10 operator
dengan estimasi jumlah pelanggan sekitar 175,18 juta.Sebagian besar
operator telah meluncurkan layanan 3G dan 3,5G. Seluruh operator GSM
telah mengaplikasikan teknologi UMTS maupun HSDPA dan HSUPA pada
jaringannya, dan operator CDMA juga telah mengaplikasikan teknologi
CDMA2000 1x EV-DO, kecuali untuk Ceria, yang masih memakai CDMA.
Akibat kebijakan pemerintah tentang penurunan tarif pada awal 2008,
serta gencarnya perang tarif para operator yang makin gencar, kualitas
layanan operator seluler di Indonesia terus memburuk, terutama pada
jam-jam sibuk[. Sementara itu, tarif promosi yang diberikan pun
seringkali hanya sekedar akal-akalan, bahkan cenderung merugikan
konsumen itu sendiri.
Periode 2010
Jumlah pengguna seluler di Indonesia hingga Juni 2010 diperkirakan
mencapai 180 juta pelanggan, atau mencapai sekitar 80 persen populasi
penduduk. Dari 180 juta pelanggan seluler itu, sebanyak 95 persen adalah
pelanggan prabayar. Menurut catatan ATSI, pelanggan Telkomsel hingga
Juni 2010 mencapai 88 juta nomor, XL sekitar 35 juta, Indosat sekitar
39,1 juta, selebihnya merupakan pelanggan Axis dan Three. Direktur Utama
PT Telkomsel, Sarwoto mengatakan, dari sisi pendapatan seluruh operator
seluler sudah menembus angka Rp100 triliun. Industri ini diperkirakan
terus tumbuh, investasi terus meningkat menjadi sekitar US$2 miliar per
tahun, dengan jumlah BTS mencapai lebih 100.000 unit.
Prospek telekomunikasi seluler di Indonesia
Di Indonesia, teknologi 4G mulai diperkenalkan, dimulai dengan
dikembangkannya WiMAX (Worldwide Interoperability for Microwave Access)
oleh pemerintah[46]. Pemerintah selaku regulator telah menerbitkan tiga
peraturan pada bulan Februari 2008 melalui keputusan Direktorat Jenderal
Pos dan Telekomunikasi No. 94, 95, 96 mengenai persyaratan teknis
mengenai alat dan perangkat telekomunikasi pada frekuensi 2.3 Ghz,
sebagai frekuensi yang akan ditempati WiMAX di Indonesia. Pemerintah
sendiri telah menyiapkan dana sebesar Rp18 milyar untuk penelitian dan
pengembangan teknologi WiMAX di Indonesia, bekerjasama dengan beberapa
lembaga penelitian dan perguruan tinggi.[47] Pemerintah membuka akses
internet untuk publik sembari menguji coba teknologi Wimax lokal selama
tiga bulan berturut-turut mulai 15 Oktober hingga akhir 2008.[48]
WiMAX sendiri adalah teknologi telekomunikasi terbaru yang memudahkan
masyarakat untuk mendapatkan koneksi internet berkualitas dan melakukan
aktivitas dan teknologi nirkabel telekomunikasi berbasis protokol
internet yang berjalan pada frekuensi 2,3 GHz.
Telkomsel telah menggunakan frekuensi 5,8 GHz untuk menguji coba
teknologi WiMAX tersebut. Namun, karena tak punya izin lisensi, operator
ini mengklaim meminjam perangkat dan izin penggunaan frekuensi dari
penyelenggara lain. Telkomsel sendiri mengklaim mereka tak akan
mengkomersilkan WiMAX, sebab mereka lebih memilih LTE (Long Term
Evolution) sebagai teknologi masa depan mereka. Telkomsel menggunakan
teknologi Wimax ini untuk backhaul saja.
Sementara itu, Indosat melalui produk M2 bekerja sama dengan Intel untuk
menawarkan program pengadaan komputer beserta koneksi internet
nirkabelnya di sekolah-sekolah. Program itu nantinya jadi cikal-bakal
untuk membidik peluang Wimax di sekolah.
Melihat jumlah penduduk Indonesia yang besar dengan penetrasi seluler
yang baru hampir mencapai 50%, maka masih ada peluang yang terbuka lebar
untuk meraih banyak pelanggan baru. Pada 2012, diperkirakan penetrasi
seluler di Indonesia akan mencapai 80%
Tidak ada komentar:
Posting Komentar